PERKEMBANGAN KARAKTER DAN HAMBATANNYA
Sejak lahir hingga dewasa, manusia mengalami perkembangan
karakter di samping perkembangan fisik dan kognitif yang dimilikinya. Terdapat
tiga perspektif yang menjelaskan
mengenai perkembangan karakter seseorang, yaitu: aliran nurture, nature, dan interaksionis (Adi, dkk., 2010).
Pengikut aliran nurture berpendapat bahwa karakter dipengaruhi oleh faktor lingkungan sehingga perkembangannya sudah dimulai sejak dia lahir dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengikut aliran nature berpendapat bahwa karakter lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik dari orang tuanya, sehingga perkembangannya sudah dimulai sebelum dia lahir. Pengikut aliran interaksionis berpendapat bahwa perkembangan karakter seseorang dipengaruhi oleh faktor lingkungannya, selain dari faktor genetiknya.
Jika merujuk pada aliran interaksionis, maka cukup beralasan apabila dikatakan bahwa
karakter seseorang berkembang sejak dia masih berada di dalam kandungan (rahim)
ibunya dan mengalami berkembang serta dipengaruhi oleh faktor situasi serta
kondisi lingkungannya. Menurut Adi, dkk. (2010) bahwa terdapat beberapa
karakter individu yang
mulai berkembang pada masa bayi di antaranya: rasa empati, konsep
tentang manusia, dan kelekatan bersama orang lain. Karakter-karakter tersebut terus berkembang
hingga muncul karakter yang lebih matang seperti: kontrol diri,
perasaan benar atau perasaan salah, serta perilaku lain dengan mempertimbangkan
cara-cara yang ditampilkan oleh pihak lain.
Bagi seorang anak,
lingkungan yang paling dekat dengan dirinya adalah lingkungan keluarga dan
menjadi pondasi dalam pengembangan karakternya. Di dalam lingkungan keluarga, anak memperoleh pelbagai
pengalaman langsung (direct experiences)
dan pengalaman vicarious (vicarious
experiences). Pengalaman langsung bagi seorang anak dapat diidentikkan
dengan pengalaman fisik (physic
experience) dan sosial (social
expereince) menurut teori perkembangan kognitif dari Piaget (Dahar, 1989).
Pengalaman langsung dapat
dimaknai oleh seorang anak adalah pengalaman melalui interaksi langsung dengan
suatu objek dalam suatu situasi dan kondisi tertentu, seperti bekerja sama
dengan seorang kakak atau ayah dalam merangkai sesuatu yang diperlukan di
rumah. Selama proses
kerjasama ini, anak memperoleh pengalaman dalam memotong
kayu dengan gergaji atau menancapkan paku dengan menggunakan palu atau martil.
Pengalaman vicarious dapat dicapai oleh seorang
anak melalui contoh-contoh yang ditampilkan oleh orang lain (Woolfolk, 2009).
Apa yang sudah dicontohkan oleh orang lain dan sudah berulang-ulang menyebabkan anak memperoleh
pengalaman dan memaknainya. Dengan perkataan lain, pengalaman vicarious dicapai oleh seorang anak
melalui perilaku yang tidak dikondisikan untuk anak tersebut. Akan tetapi anak
tersebut senantiasa mengamatinya dan memaknainya sehingga sampai pada suatu
kesimpulan bahwa perilaku tersebut adalah baik atau buruk.
Perilaku yang berulang dapat diamati oleh seorang anak di
lingkungan keluargannya, di lingkungan masyarakatnya, di lingkungan sekolahnya,
dan/atau melalui pelbagau media sosial.
Pada awal
perkembangannya, anak belajar nilai-nilai karakter melalui pelbagai jenis
interaksi dari orang lain, baik keluarga maupun masyarakat. Anak belajar
nilai-nilai karakter dari orang tuanya, bermain bersama dengan teman yang
sebayanya, bergaul dengan keluarga dan saudara-saudaranya, serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Menurut
Michener dan Delamater dalam Parji (2008) bahwa jika
berdasarkan pada interaksi tersebut, maka
seorang anak secara
berkesinambungan mampu mengembangkan penilaian moral (moral judgement).
Sebagai sebuah
contoh, jika anak masih kecil dan kedua orang tua selalu bertengkar hingga
berakhir pada sebuah perceraian, maka memungkinkan anak mengambil kesimpulan
sendiri bahwa pernikahan adalah suatu penderitaan. Jika kedua orang tuanya
selalu menunjukkan rasa saling menghormati melalui bentuk komunikasi yang akrab
dan harmonis, menampilkan kebajikan (kejujuran, kedisiplinan, ketelitian,
kehati-hatian, dan kerjasama), maka anak dapat menyimpulkan bahwa pernikahan
itu adalah sebuah keindahan. Demikian pula halnya dengan pengalaman langsung
dan vicarious yang diperoleh anak di
lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah semuanya akan berdampak ketika
seorang anak sudah tumbuh menjadi dewasa.
Seperti halnya perkembangan kognitif bagi seseorang dari lahir hingga dewasa yang tahapannya diteorikan oleh Jean Piaget, karakter seseorang juga berkembang melalui tahapan tertentu. Hidayatullah dalam Asmani (2011) mengemukakan tahapan perkembangan karakter anak yang intinya sebagai berikut.
Pertama, tahap Penanaman Adab (usia 5–6 tahun). Adab atau tata krama terlihat pada tata cara seseorang bertutur sapa, berinteraksi, bersikap, dan mampu bersosialisasi. Pada usia ini, beberapa karakter yang ditanamkan pada anak, antara lain: kejujuran, keimanan, dan menghormati/menghargai orang lain. Selain itu, seorang anak dapat dididik mengenai pentingnya proses, baik dalam belajar maupun dalam mendapatkan sesuatu, sehingga terhindar dari kemanjaan. Kemanjaan sangat berbahaya bagi masa depan seorang anak. Olehnya itu, seorang anak harus dibiasakan pada hal-hal yang konkret, jangan mengambil benda-benda yang bukan miliknya, memberikan tugas/pekerjaan sesuai kemampuannya serta pantas untuk dirinya, menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Kedua, tahap
Penanaman Tanggung Jawab (usia 7–8 tahun). Tanggung jawab adalah wujud dari
niat dan tekad untuk melakukan tugas yang diembannya. Oleh karena itu, seorang
anak harus dibiasakan untuk melaporkan
apa saja hasil dari setiap pekerjaan yang telah dilakukan, dan menyampaikan
masalah-masalah yang dialami atau yang terjadi selama mengerjakan tugas yang
diamanahkannya.
Ketiga, tahap
Penanaman Kepedulian (usia 9-10 tahun). Kepedulian adalah empati orang lain
yang diwujudkan dalam bentuk pemberian pertolongan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Oleh karena itu, anak
harus dibiasakan menolong temannya baik di sekolah maupun di luar sekolah,
mendengar dengan saksama pembicaraan orang lain.
Keempat, tahap Penanaman
Kemandirian (usia 11-12 tahun). Mandiri adalah pola pikir dan sikap yang lahir
dari semangat tinggi dalam memandang diri sendiri. Beberapa nilai dalam
kemandirian antara lain tidak tergantung pada orang lain, percaya kepada
kemampuan diri sendiri, tidak merepotkan dan merugikan orang lain, berusaha
mencukupi kebutuhan sendiri dengan semangat bekerja dan mengembangkan diri.
Oleh karena itu, anak dibiasakan bekerja secara mandiri, menentukan pilihan
sendiri terhadap beberapa hal yang mungkin dipilihnya.
Kelima, tahap Penanaman Pentingnya
Bermasyarakat (usia 13 tahun ke atas). Bermasyarakat adalah simbol kesediaan
seseorang untuk bersosialisasi dan bersinergi dengan orang disekitarnya.
Bermasyarakat berarti meluangkan sebagian waktu untuk kepentingan orang
sekitarnya. Bermasyarakat sangat identik dengan bergaul, bekerjasama atau
gotong royong. Perkembangan karakter yang dominan pada tahap ini adalah
penalaran moral dan identitas moral (Adi, dkk., 2010). Sejalan dengan hal
tersebut, Soeprapto (2002) menyatakan bahwa kehidupan sosial seseorang
merupakan kehidupan bersama manusia dalam suatu pergaulan hidup sosial, Suatu
kehidupan sosial ditandai dengan adanya kesadaran bahwa mereka merupakan satu
kesatuan yang pada akhirnya bergaul (berinteraksi) satu sama lain, bersama
dalam waktu yang relatif lama serta membentuk kehidupan bersama. Oleh karena
itu, anak harus dibiasakan menghadiri pesta/keramaian, bekerjasama dalam
bermain, dan berpartisipasi pada kegiatan kerja bakti di lingkungan sekitar.
Siapa saja yang harus bertanggung jawab dalam
mendukung berlangsungnya tahapan perkembangan karakter di atas? Jawabannya
adalah para aktor yang mengelola ”tri pusat pendidikan”, yaitu: pendidikan
keluarga, pendidikan masyarakat, dan pendidikan formal.
Dalam
konteks pembelajaran fisika, terdapat
pelbagai perilaku berkarakter yang termasuk di dalam bingkai a’bulo sibatang. Hal ini cukup beralasan
karena di dalam fisika terdapat banyak nilai-nilai karakter yang sejalan dengan
harapan Kemedikbud untuk dapat dikembangkan dalam pembelajaran. Oleh karena
itu, setiap peserta didik harus dapat dilibatkan seoptimal mungkin dalam
melakukan sejumlah aktivitas yang berorientasi keterampilan proses sains
sehingga mereka mengambil makna pada kehidupan di lingkungan sekitarnya (Sauri dalam
Zubaedi).
Dalam pembelajaran fisika misalnya, pendidik harus mampu
memfasilitasi dan mengarahkan setiap peserta didik sehingga perilaku
berkarakter yang akan dikembangkan pada mereka ditunjang oleh model
pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas berkomunikasi dan aktivitas
laboratorium. Menurut Zubaedi (2011) bahwa kegiatan praktikum dalam
pembelajaran fisika yang dilakukan secara berkelompok dapat dijadikan media
untuk mengembangkan sejumlah perilaku berkarakter.
Khusus pada mata pelajaran fisika, dan merujuk pada Pusat
Kurikulum (2010) dapat dikemukakan beberapa perilaku berkarakter serta
indikatornya yang dapat dijadikan rujukan oleh pendidik dalam menilai perilaku
berkarakter peserta didik, yakni sebagai berikut.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter kejujuran jika sikap dan perilakunya dapat dipercaya. Perilaku
berkarakter ini terlihat pada tindakan peserta didik dalam melakukan pengamatan
sesuai prosedur kegiatan, menganalisis data sesuai kaidah ilmiah, menyajikan data
dan menarik kesimpulan sesuai dengan hasil praktikum yang diperoleh.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter cerdas jika mampu melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan
cepat. Perilaku berkarakter ini terlihat pada tindakan peserta didik yang mampu
menarik atau merumuskan kesimpulan dengan cepat dan tepat ketika belajar, mampu
menemukan jawaban yang tepat dalam setiap soal-soal yang diberikan serta mampu
memilih alat dan bahan yang tepat dalam melakukan eksperimen.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter teguh jika memiliki perilaku berkarakter pantang menyerah atau
tidak mudah putus asa pada saat menghadapi kesulitan dalam melaksanakan
kegiatan atau tugas. Perilaku berkarakter ini terlihat pada tindakan peserta
didik yang selalu menggunakan informasi yang terpercaya dalam setiap pendapat
yang dikeluarkannya serta tidak berputus asa dalam mengulang eksperimen agar
mendapatkan data yang akurat.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter demokratis jika memiliki cara berfikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Perilaku berkarakter ini
dapat terlihat dari tindakan peserta didik yang bisa bersedia menerima masukan
dari setiap anggota kelompok, mau memberikan kesempatan kepada anggota
kelompoknya untuk mengemukakan pendapat serta mau menyelesaikan tugas yang
diberikan kepadanya.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter peduli jika selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan
atau kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya serta mau
memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkannya. Perilaku berkarakter ini
terlihat pada tindakan peserta didik yang rela berbagi dalam memanfaatkan
fasilitas pembelajaran, seperti: alat dan bahan praktikum, menggunakan alat dan
bahan laboratorium dengan hati-hati, menaruh perhatian penuh tentang tata cara
penggunaan alat dan bahan, peduli dengan teman yang mengalami kecelakaan dalam
kegiatan praktikum.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter keingintahuan jika sikap dan tindakannya selalu ingin mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
Perilaku berkarakter ini terlihat pada tindakan mereka yang suka bertanya lebih
dalam tentang materi fisika yang sedang dipelajarinya dan senang mencari
informasi lebih banyak lagi mengenai materi fisika.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter disiplin jika tindakannya selalu menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku berkarakter ini terlihat
pada tindakan mereka dalam menyelesaikan dan mengumpulkan tugas-tugas yang
diberikan kepadanya dengan tepat pada waktunya.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter teliti jika tindakannya
selalu seksama dan hati-hati. Perilaku berkarakter ini terlihat pada tindakan
mereka dalam mengerjakan soal dengan cermat dan memeriksa ulang jawabannya
tersebut serta memperhatikan dengan serius kepada pendidik atau temannya yang
sedang menjelaskan materi pelajaran. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah
adalah ketetlitan dalam melakukan pengukuran, sehingga hasil yang terlaporkan
sesuai dengan adanya.
Seorang peserta didik dikatakan memiliki perilaku
berkarakter bekerja sama jika mampu melakukan kegiatan belajar secara
bersama-sama untuk mencapai tujuan. Perilaku berkarakter ini terlihat pada
tindakan mereka yang saling membantu, berbagi informasi atau alat dan bahan
ketika praktikum serta bisa menghargai dan mendukung keputusan yang telah
ditetapkan oleh kelompok.
Seorang
peserta didik dikatakan memiliki perilaku berkarakter bekerja keras jika
menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam belajar, baik di dalam kelas maupun di
luar kelas. Perilaku berkarakter ini terlihat pada tindakan mereka dalam
menyusun perencanaan yang jelas, seperti dalam membuat target nilai yang ingin
diperoleh atau target waktu penyelesaian tugas, dan berusaha keras untuk
mencapai target tersebut.
Hambatan Implementasi Pembentukan Karakter
1. Pendidik (Guru)Menurut
Al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah nenyempurnakan, membersihkan,
menyucikan, serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah swt. Tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
Jika
pendidik belum mampu membiasakan diri dalam peribadatan kepada peserta didik,
berarti ia mengalami kegagalan di dalam tugasnya, sekalipun peserta didik
memiliki prestasi akademis yang luar biasa.
Ramayulis
berpendapat bahwa guru (pendidik) adalah orang yang memikul tanggung jawab
untuk membimbing peserta didik menjadi manusia yang manusiawi.
Selanjutnya
Samsul Nizar berpendapat bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam
adalah: Orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan
rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu
menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya baik sebagai khalifah Allah maupun
sebagai hamba-Nya, sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa menjadi pendidik atau guru sesungguhnya sedang mempersiapkan para peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang sehat jasmani, hati dan pikirannya sehingga senantiasa menjadi hamba Allah dan menjadi mausia yang bermanfaat untuk manusia lainnya.
2. Peserta DidikKondisi
umum para siswa di sekolah sangatlah unik, perbedaan karakter siswa kerap
menjadi masalah bagi pihak sekolah, terutama bagi guru yang langsung
bersentuhan dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Perbedaan
karakter pada siswa, seperti adanya siswa yang normal, nakal, gagal, lambat
belajar, serta yang mempunyai keterbelakangan mental, adalah hal yang lumrah,
sebab setiap manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan karakter yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan
mentransformasikan seorang manusia menjadi individu yang memiliki karakter
dasar yang unik.
Oleh
karena itu, seorang guru dituntut bisa memahami perbedaan kemampuan peserta
didik yang beraneka tingkat kecerdasannya, agar
materi pelajaran yang disampaikan dapat dipahami secara baik oleh
peserta didik. Selain itu guru juga harus mampu menjaga peserta didik
senantiasa penuh semangat memperhatikan dan menyimak penjelasan, arahan
dan bimbangannya karena sifat alamiah anak di usia mereka senang bermain-main.
3. 3. Orang
Tua (Lingkungan)
Keberhasilan
dalam bidang pendidikan ditentukan oleh hubungan baik atau kerjasama antara
sekolah, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Usaha pembentukan karakter dengan
pembiasaan nilai-nilai atau budaya baik dan keteladan kepada peserta didik yang dipelajari dan dipraktekan di sekolah,
seharusnya tetap mendapat dukungan dari orang tua dengan menjadi orang tua
teladan dan menerapkan aturan serta kebiasan yang sama di rumah, begitu pula di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga peserta didik tidak menjadi bingung karena
dalam kenyataannya karakter unggul dari sekolah berbeda dengan kenyataan di
rumah dan lingkungannya.